Berusaha mencontohkan satu dari sekian banyak permasalahan mengenai
idealisme, wora-wiri berpikir ternyata yang tersirat di otak tetap saja
hanya ada satu, yaitu seni.. Seni yang dalam bahasa Sanskerta, kata seni
disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa
berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan
indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang
menjadi segala macam kekriaan yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman.
Di dalam pikiran saya, satu-satunya hal yang tidak bisa dikontrol oleh
teknologi ya tidak lain dan tidak bukan adalah seni. Sekilas saya
menjadi teringat pada tayangan How Art Made The Word di Epidose Pertamanya, yang membahas More Human Than Human. Dikuatkan dengan beberapa komentar yang awam dengan seni, bahwa “seni itu manusia banget”…
Jelas terlihat bahwa seni tidak bisa diciptakan dengan rumus-rumus
ataupun teknologi secanggih apapun. Juga sulit sekali untuk dijelaskan
artinya, apalagi untuk seseorang yang sama sekali bukan ahli filsafat.
*****
Bagi saya, idealisme merupakan usaha untuk membuat sesuatu yang beda.
Setiap manusia tidak pernah dituntut untuk menjadi seseorang yang unik
atau beda dari yang lain. Yang ada hanyalah keinginan untuk bisa muncul
di permukaan dari lautan manusia-manusia hebat yang memiliki tujuan yang
sama. Sebagai contoh, para juru foto atau yang biasa disebut
fotografer. Banyak fotografer yangmasih konsisten dan kekeh menggunakan
kamera analog di era yang segalanya digital seperti sekarang. Berfikir
idealis tidaklah semudah yang dibayangkan. Tidak jarang berpikir
idealis justru menjebak seseorang untuk terperangkap pada beberapa
pilihan yang harus dibuat skala prioritasnya. Mungkin jadi terbukti deh,
bahwa berpikir idealis juga terkadang (memang tidak selalu) harus menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang ada dihadapan kita.
*****
Idealis sering dihubungkan dengan usaha untuk berpikir beda dengan yang
lain, namun konsisten. Tak jarang terkadang idealisme juga berkaita
dengan sebuah pemberontakan. Bagi saya, pada dasarnya menjadi seorang
seniman juga menjadi salah satu wujud dari ‘pemberontakkan’ diri kita
terhadap alur hidup. Tidak sedikit seniman yang idealis, bahkan berada
dalam level ekstrim. Ini semua dikarenakan terlalu banyaknya pemikiran
yang muncul dari dalam diri. Seniman-seniman yang pintar pasti akan
langsung menuangkan segala idenya itu ke dalam sebuah karya, baik itu
lukisan, gambar, atau lagu. Banyak juga kartunis atau ilustrator yang
membuat gambar tentang pandangan Indonesia saat ini dan apa yang
menurutnya baik untuk Indonesia masa datang.
*****
Bagi saya pun, sebenarnya berusaha untuk idealis itu mengasyikkan kok,
apalagi pada jaman yang serba cepat seperti ini, kalau tidak idealis
dan teguh pendirian bisa terbawa arus. Seperti seniman yang berkarya
mengikuti dan menyesuaikan permintaan pasar. Namun apa jadinya ketika
sebuah usaha untuk berpikir idealis justru membuahkan dilema? Seperti
yang sering dikeluhkan para pelukis yang menyebut dirinya sebagai
seorang seniman (entah seniman dalam konteks apa dulu),
keberlangsungan finansial yang terkadang memaksa hasrat untu beridealis
menjadi terpaksa harus mengikuti pasaran. Intensitas pasar tidak berdiri
sendiri sebagai sebuah wadah, melainkan berpihak pada label-label karya
seniman tertentu. Pasar merupakan sebuah institusi yang membesarkan,
sekaligus dapat menenggelamkan seseorang seniman dengan
ketidakberpihakannya. Keterpaksaan ini yang membuat saya mengingat
tentang cuplikan bahasannya S. Sudjoyono dalam Kuliah Kritik Seni Rupa,
bahwa pasar merupakan terdiri atas akumulasi selera publik, tren,
kepopuleran, dan jika tidak mampu beradaptasi pada wilayah tersebut,
pasar tidak akan berpihak sama sekali. Ironisnya saat ini, antara pasar,
balai lelang, dan galeri, memiliki paradigma yang saling berbaur demi
kepentingan publik, bukan atas dasar spiritualitas seniman. Munculnya
asumsi, bahwa pasarlah yang pada akhirnya membentuk spiritualitas
seorang seniman. Hal inilah yang terkadang membuat langkah si seniman
sedikit berat untuk menjaga konsistensi karyanya.
*****
Kaitannya dengan hidup yang lebih universal, menurut saya idealisme
tetap harus diiringi dengan berpikir secara halus untuk bisa menjadi
seseorang yang jika memiliki sebuah pemikiran, harus punya landasan yang
kuat dan hal-hal pendukung yang bisa membuat detail sebuah pemikiran
itu, untuk menghindari idealisme yang kemudian harus terbentur dengan
berbagai urusan, seperti cinta, keluarga, finansial, dan sebagainya.
Jangan sampai menjadi tidak bisa membedakan antara berpikir secara
idealis, atau malah menjadi berpikir egois.