Rabu, 23 November 2011

Ketika Idalisme Berbuah Dilema

Berusaha mencontohkan satu dari sekian banyak permasalahan mengenai idealisme, wora-wiri berpikir ternyata yang tersirat di otak tetap saja hanya ada satu, yaitu seni.. Seni yang dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman. Di dalam pikiran saya, satu-satunya hal yang tidak bisa dikontrol oleh teknologi ya tidak lain dan tidak bukan adalah seni. Sekilas saya menjadi teringat pada tayangan How Art Made The Word di Epidose Pertamanya, yang membahas More Human Than Human. Dikuatkan dengan beberapa komentar yang awam dengan seni, bahwa “seni itu manusia banget”… Jelas terlihat bahwa seni tidak bisa diciptakan dengan rumus-rumus ataupun teknologi secanggih apapun. Juga sulit sekali untuk dijelaskan artinya, apalagi untuk seseorang yang sama sekali bukan ahli filsafat.
*****
Bagi saya, idealisme merupakan usaha untuk membuat sesuatu yang beda. Setiap manusia tidak pernah dituntut untuk menjadi seseorang yang unik atau beda dari yang lain. Yang ada hanyalah keinginan untuk bisa muncul di permukaan dari lautan manusia-manusia hebat yang memiliki tujuan yang sama. Sebagai contoh, para juru foto atau yang biasa disebut fotografer. Banyak fotografer yangmasih konsisten dan kekeh menggunakan kamera analog di era yang segalanya digital seperti sekarang.  Berfikir idealis tidaklah semudah yang dibayangkan.  Tidak jarang berpikir idealis justru menjebak seseorang untuk terperangkap pada beberapa pilihan yang harus dibuat skala prioritasnya. Mungkin jadi terbukti deh, bahwa berpikir idealis juga terkadang (memang tidak selalu) harus menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang ada dihadapan kita.
*****
Idealis sering dihubungkan dengan usaha untuk berpikir beda dengan yang lain, namun konsisten. Tak jarang terkadang idealisme juga berkaita dengan sebuah pemberontakan. Bagi saya, pada dasarnya menjadi seorang seniman juga menjadi salah satu wujud dari ‘pemberontakkan’ diri kita terhadap alur hidup. Tidak sedikit seniman yang idealis, bahkan berada dalam level ekstrim. Ini semua dikarenakan terlalu banyaknya pemikiran yang muncul dari dalam diri. Seniman-seniman yang pintar pasti akan langsung menuangkan segala idenya itu ke dalam sebuah karya, baik itu lukisan, gambar, atau lagu. Banyak juga kartunis atau ilustrator yang membuat gambar tentang pandangan Indonesia saat ini dan apa yang menurutnya baik untuk Indonesia masa datang.
*****
Bagi saya pun, sebenarnya berusaha untuk idealis itu mengasyikkan kok, apalagi pada jaman yang serba cepat seperti ini, kalau tidak  idealis dan teguh pendirian bisa terbawa arus. Seperti seniman yang berkarya mengikuti dan menyesuaikan permintaan pasar. Namun apa jadinya ketika sebuah usaha untuk berpikir idealis justru membuahkan dilema? Seperti yang sering dikeluhkan para pelukis yang menyebut dirinya sebagai seorang seniman (entah seniman dalam konteks apa dulu), keberlangsungan finansial yang terkadang memaksa hasrat untu beridealis menjadi terpaksa harus mengikuti pasaran. Intensitas pasar tidak berdiri sendiri sebagai sebuah wadah, melainkan berpihak pada label-label karya seniman tertentu. Pasar merupakan sebuah institusi yang membesarkan, sekaligus dapat menenggelamkan seseorang seniman dengan ketidakberpihakannya. Keterpaksaan ini yang membuat saya mengingat tentang cuplikan bahasannya S. Sudjoyono dalam Kuliah Kritik Seni Rupa, bahwa pasar merupakan terdiri atas akumulasi selera publik, tren, kepopuleran, dan jika tidak mampu beradaptasi pada wilayah tersebut, pasar tidak akan berpihak sama sekali. Ironisnya saat ini, antara pasar, balai lelang, dan galeri, memiliki paradigma yang saling berbaur demi kepentingan publik, bukan atas dasar spiritualitas seniman. Munculnya asumsi, bahwa pasarlah yang pada akhirnya membentuk spiritualitas seorang seniman. Hal inilah yang terkadang membuat langkah si seniman sedikit berat untuk menjaga konsistensi karyanya.
*****
Kaitannya dengan hidup yang lebih universal, menurut saya idealisme tetap harus diiringi dengan berpikir secara halus untuk bisa menjadi seseorang yang jika memiliki sebuah pemikiran, harus punya landasan yang kuat dan hal-hal pendukung yang bisa membuat detail sebuah pemikiran itu, untuk menghindari idealisme yang kemudian harus terbentur dengan berbagai urusan, seperti cinta, keluarga, finansial, dan sebagainya. Jangan sampai menjadi tidak bisa membedakan antara berpikir secara idealis, atau malah menjadi berpikir egois.

2 komentar:

  1. ya bener banget segala sesuatu menurutku lebih baik jika kita punya landasan pemikiran yang kuat, jangan cuma berpikir idealis tp kita gag punya landasan karena hanya mementingkan ego dan pemikiran sendiri

    BalasHapus
  2. benar sekali...untuk itulah perlunya berpikir idealis dengan didasari rasa peka.. peka terhadap rasa, hak dan juga kewajiban yang harus dipenuhi sebagi individu.. bukan hanya sekedar memikirkan keberlangsungan eksistensi diri saja...
    terimakasih...

    BalasHapus